Dwarapala
adalah sebutan terhadap sepasang sosok patung penjaga Pintu di depan gerbang
kuil Hindu dan Buddha di kepulauan Nusantara, khususnya di Jawa dan Bali
(Suryada, Primayatna, Paramadhyaksa. & Rajendra, 2012). Dwarapala merupakan
gabungan dari dua suku kata yaitu dwara (Dvâra) yang berarti Pintu dan pala
(Pâla)' berarti penjaga, jadi Dwarapala berarti penjaga pintu. Pendapat berbeda
mengemukakan bahwa dwara arti-nya Pintu atau gerbang.
Yang pada masa Veda awal
memiliki makna simbolis yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan pemaknaan Pintu
masuk, diartikan ke tempat yang penting seperti candi, istana atau rumah. Dalam
kontek ritual, semua Pintu merupakan petunjuk ke sesuatu yang baik. Sebagai
dewa penjaga dan sebagai bentuk yang tidak pernah habis-habisnya membantu pada
upacara sakral , serta dihormati seperti dewa.
Dewa-dewa masuk ke tempat yang
sakral melalui dewa-dewa penjaga Pintu seperti cahaya pagi yang melewati Pintu
gerbang dari langit se-belah timur. Dwarapala meru-pakan perkembangan dari
Yaksa. Di dalam agama Buddha Yaksa merupakan pendamping Buddha sebagai
pelindung dan penjaga bangunan suci.
Tugas Yaksa sebagai pelindung inilah yang
kemudian berkembang menjadi penjaga Pintu (Dwarapala). Sebagai penjaga Pintu
(Dwarapala) dapat digambarkan sebagai mahluk yang ganas untuk mengusir
kejahatan dan menjauhkan bahaya. Di Jawa, Dwarapala diwujudkan sebagai raksasa.
Akan tetapi aspek menakutkan tidak mutlak, karena Dwarapala sering tidak
menonjolkan ciri-ciri menakutkan, tetapi kadang digambarkan tersenyum
(Sarjanawati, 2010).
Dalarn
seni arsitektur percandian klasik Indonesia, dwarapala lazimnya diwujudkan
sebagai sosok sepasang raksasa dengan tubuh tinggi besar, berotot, berambut
ikal tebal, bermata bulat besar melotot, dan bermulut terbuka dengan gigi taring
yang besar dan tajam. Di beberapa negara Asia, sosok penjaga pintu kuil umumnya
diwujudkan sebagai dua raksasa laki-laki dalam wujud beragarn sesuai agama kuil
yang "dijaganya". Para penjaga gerbang tersebut memiliki sebutan yang
berbeda-beda, seperti Dvarapala (India), Erwang (Tiongkok), Niõ (Jepang), dan
Yak (Thailand).
Di Pulau Bali, sosok penjaga gerbang pura (kori agung) dirupakan sebagai sepasang patung/arca dalam berbagai Wujud, nama, dan latar belakang filosofi yang berkembang di setiap daerahnya dari masa ke masa. Beberapa contoh varian pasangan dwarapala yang dapat dilihat di Bali adalah memiliki karakter (a) sosok sepasang raksasa berbadan besar dan kecil, (b) sosok kakak dan adik, (c) sosok raja dan patih, (d) sosok dua raksasi, (e) sosok raksasa kembar, atau (f) sosok raksasa laki-laki dan perempuan (Suryada, Primayatna, Paramadhyaksa, & Rajendra, 2012, hal.
1) Mithologi
arca dwarapala di Indonesia dapat disamakan dapat disamakan dengan mithologi di
India. Yaksa dikatakan mahluk yang setingkat lebih rendah dari dewa-dewa yaitu
tergolong mahluk gaib, yang merupakan pendamping dewa-dewa berbentuk raksasa,
berwajah ganas, dengan rambut kriting kebelakang hingga menyentuh pundak.
Di
samping berwujud raksasa di India yaksa juga diwujudkan sebagai mahluk yang
berkepala binatang seperti berkepala singa, harimau, kuda, dan lain sebagainya.
Menurut mithologi India yaksa dapat berganti kepala sesuai dengan keadaan yang
dihadapi (Jaya, 2018).
Pada
Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Dwarapala dibedakan menjadi yang berukuran
besar (disebut Dwarapala Ageng) dan berukuran kecil (disebut Dwarapala alit).
Kedua dwarapala tersebut menggunakan tampilan
sosok raksasa, dengan posisi bersimpuh dengan memegang senjata Gada. Dwapala
Ageng ditandadi dengan penggunaan hiasan kepala (gelungan) raja, menandakan
bahwa posisi raksasa tersebut adalah utama atau raja. Dibandingkan dengan
posisi dwarapala alit yang menggunakan gelungan pepatih.
Posisi patung
ditempatkan simetris kirikanan yang mengapit pintu masuk, di sampingnya
terdapat papan nama monumen. Dari posisi patung ke Monumen, berjarak 30 meter.
Patung terlihat jelas dari Jalan raya Niti Mandala Renon, sehingga menjadi
penanda pintu masuk utama Monumen dari selatan.
Komentar
Posting Komentar